Belakangan ini, profesi menjadi seorang dai begitu populer. Banyaknya fenomena artis-artis yang hijrah menjadi salah satu faktornya. Namun terlepas dari kontroversi dai sebagai profesi atau bukan, keberadaannya sangat dibutuhkan sekali di masyarakat. Kerap sekali para dai ini diundang untuk mengisi sebuah ceramah di suatu tempat. Ada yang mengisi di acara-acara televisi, ada yang mubaligh kondang, ada yang mengisi hingga ke pelosok-pelosok negeri. Tentunya hal itu dilakukan untuk mensyiarkan agama islam.
Namun,
tahukah anda, ada satu hal yang menjadi problematika para dai ketika mereka
diundang untuk mengisi ceramah di suatu tempat. Ya permasalahan itu ialah
tentang bisyarah atau bayaran yang
diberikan oleh panitia acara sebagai timbal balik atas ilmu yang diberikan.
Hal
ini pernah menjadi trending topik beberapa minggu belakang, ketika statement
Gus Miftah yang kurang lebih menyatakan bahwa “mengisi ceramah yang diundang
oleh pejabat maka bisyarahnya pun harus besar, sedangkan mengisi tausiyah yang
diundang oleh jamaah biasa pada umumnya maka besaran bisyarahnya pun
menyesuaikan”.
Statement
tersebut oleh sebagian masyarakat dianggap kurang etis, cacian ustadz mata
duitan pun banyak dilontarkan oleh netizen. Katanya ustadz itu harus lillah. Namun statement Gus Miftah
tersebut ada benarnya juga lho.
Masyarakat
tahunya bahwa sudah menjadi tugas ustadz untuk ceramah, dan adapun besaran
bisyarahnya jangan dipatok. Padahal apabila dicermati lebih dalam, banyak
sekali pengeluaran yang merogeh isi dompet ustadz, bahkan terkadang tidak
sebanding dengan bayaran yang didapat. Apalagi jika mengisi ceramahnya tersebut
di luar kota. Coba bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh ustadz
tersebut. Mulai dari bensin, bayar masuk tol jika memang perjalanan jauh, biaya
supir jika ustadz tersebut tidak bisa menyetir mobil, biaya penginapan jika
memang berhari-hari, belum ditambah lagi biaya makan dan waktu yang diluangkan
oleh ustadz tersebut. Karena ada pepatah yang mengatakan waktu adalah uang.
Coba
sekarang analoginya diputar balik. Apabila engkau menjadi seorang penceramah
atau pemateri yang harus mengisi di luar kota, dengan biaya yang disebutkan
diatas, anda dibayar dengan nilai yang lebih rendah dari uang yang engkau keluarkan
untuk mengisi acara tersebut. Apalagi kalau hanya dibayar dengan ucapan “terima
kasih ustadz”.
Sehingga
sangat benar sekali statement Gus Miftah bahwa bisyarah ustadz atau mubaligh
itu menyesuaikan situasi dan kondisi. Belum lagi jika yang mengundangnya itu
pejabat daerah, sangat miris sekali apabila bayarannya kecil tidak
sesuai.
Akhir
kata, tulisan ini bukan berarti membela “profesi” ustadz. Namun tulisan ini
hanya mengingatkan bahwasannya banyak sekali yang harus dikeluarkan oleh ustadz
ketika dia harus mengisi ceramah di suatu tempat. Masalah soal pahala beda lagi
urusannya. Para dai sudah pasti paham betul tentang pahala yang didapat. Akan tetapi,
seorang mubaligh juga hidup di dunia yang butuh sesuap nasi, biaya anak sekolah,
dan masih banyak lainnya.
Semoga
tulisan ini sedikitnya membantu anda memahami bagaimana mengkonsep sebuah acara
yang harus menghadirkan seorang pemateri, entah itu ustadz atau bukan.
Yogyakarta,
29 November 2021
1 Comments
Sependapat dengan penulis, belum lagi pada saat sang ustad mondok mulai dari pikiran yang terkuras perut yang sering lapar dan tenaga terutama rasa kantuk yang harus ditahan demi mendapatkan suatu ilmu
ReplyDelete