Aktivis Itu Apa Sih? Ini Penjelasannya

Menjadi mahasiswa merupakan sebuah kebanggan yang luar biasa. Hal tersebut harus disyukuri karena tidak semua orang bisa mendapatkan predikat tersebut. Biaya yang mahal menjadi salah satu penyebab orang lain tidak bisa menyandang predikat tersebut. Namun, dibalik nama mahasiswa yang katanya sebagai “agent of change” ada sekelumit kisah suka maupun duka yang mengahampiri.

Sebut saja kemarin teman saya membuat sebuah status Whatsapp yang berisikan curahan isi hatinya. Nah status Whatsapp itulah yang akhirnya membuat saya menulis artikel ini.

Jadi, teman saya sebut saja Dea (bukan nama asli) bercerita bahwa dirinya dihujat dan dicemooh oleh salah satu temannya sebut saja Ina (bukan nama asli) dikarenakan dia tidak aktif kegiatan di kampus atau tidak menjadi aktivis. Dea dibandingkan dengan orang lain yang menjadi aktivis di kampus, baik itu menjadi anggota organisasi intra kampus, ekstra kampus maupun aktiv ikut demo misalnya. Hal tersebut spontan membuat Dea marah, dan parahnya lagi, Ina tidak menanyakan alasan kenapa Dea tidak menjadi “aktivis” di kampus? Mungkin saja Dea memiliki kegiatan yang lebih berfaedah daripada ngurusin kegiatan atau membicarakan hal-hal yang unfaedah, seperti ngegosipin organisasi tetangga misalnya.

Sangat naif sekali apabila manusia mudah menjudge seseorang dan menyimpulkan sesuatu berdasarkan hal yang banyak dilakukan oleh orang lain. Karena belum tentu sesuatu yang banyak dilakukan itu benar, dan sesuatu yang sedikit dilakukan itu salah. Gelar “Aktivis” tidak hanya disematkan kepada mereka yang aktif mengikuti kegiatan atau aktif organisasi di kampus. Sebuah gelar yang kegunaannya sempit.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata aktivis diartikan sebagai orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.[1] Ada juga yang mendefinisikan aktivis sebagai orang yang menggerakan.[2]

Dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang bekerja aktif dalam sebuah organisasi bisa disebut sebagai “aktivis”. Organisasi juga bukan hanya organisasi yang ada di sekolah, instansi atau sosial. Organisasi diartikan sebagai sekelompok orang yang berkumpul untuk mencapai tujuan yang sama. So, orang-orang yang aktif sebagai guru, petani, buruh pabrik, bahkan tukang becak sekalipun layak untuk diberi gelar aktivis.

Menurut hemat saya, orang-orang yang menyambi kerja sambil kuliah itu orang hebat, karena dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri dan mempunyai experience di dunia kerja. Justru orang yang katanya aktivis dan menyibukan waktunya untuk organisasi tetapi masih meminta uang kepada orang tua lah yang patut dipertanyakan.

Intinya adalah hendaknya manusia tidak mudah menjudge orang lain dan menyimpulkan sesuatu. Jadilah manusia yang bisa berguna bagi manusia yang lain. Seperti salah satu kalam hikmah mengatakan “khoirunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia yang lain).

Menjadi organisatoris di sebuah organisasi kampus sangat bagus, tidak salah, yang salah itu ketika organisatoris kampus mencela temannya yang tidak menjadi “aktivis” di kampus. Bahkan orang yang kuliahnya hanya sekedar kuliah pulang-kuliah pulang (Kupu-kupu), lalu tidur di kosan dan melakukan hal itu setiap hari, tidak boleh untuk dihujat, karena bisa jadi dia memiliki alasan yang kuat untuk tidak menjadi aktivis dan mungkin saja dia dulu di sekolahnya pernah menjabat jadi ketua Osis misalnya.

Dan yang perlu diingat, seseorang disebut aktivis itu oleh orang lain, bukan dirinya sendiri yang memproklamirkan sebagai aktivis. Apalagi menjadi aktivis hanya ajang untuk mencari popularitas dan disebut keren oleh orang lain, niat yang murahan sekali.

Purwakarta, 16 Februari 2021

 

 

0 Comments