Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa diturunkan ke muka
bumi ditugaskan sebagai khalifatul ardh. Makhluk Tuhan yang satu ini
diperintahan oleh Allah untuk beribadah dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Perintah ini tertera dalam al-Quran surat adz-Dzariyat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ و
الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”
Secara gamblang dikatakan dalam ayat tersebut bahwa tugas manusia yaitu mengabdi (dalam arti lain beribadah) kepada
Allah SWT. Namun ada kejanggalan dalam menafsirkan term ibadah diatas. Ibadah
seperti apakah yang dimaksud? Dan apakah manusia hanya diperintahkan untuk
beribadah saja dengan menghiraukan aktifitas lainnya?.
Definisi Ibadah
dan Problematika di Dalamnya.
Ibadah secara bahasa berarti taat, tunduk, menurut, mengikuti dan do’a.[1]
Secara tashrif kata ibadah berasal dari kata ‘abada-ya’budu-‘ibadatan
yang artinya beribadah atau menyembah. Sedangkan menurut istilah makna ibadah terdapat
berbagai macam definisi. Menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan
yang bertujuan memperoleh keridhoan Allah Swt. dan mendambakan pahala dari-Nya
di akhirat.[2]
Ibadah secara umum terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhah (ibadah
murni atau semata mata untuk ibadah). Contoh dari ibadah jenis ini yaitu
syahadat, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Yang kedua yaitu ibadah ghairu mahdhah (ibadah
cabang). Contohnya yaitu sedekah, menolong sesama dan lain-lain.[3]
Kedua jenis ibadah ini sering disebut dengan hablum minnallah (hubungan
manusia dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan manusia dengan
manusia).
Melihat dari pembagian jenis ibadah diatas,
dapat diketahui bahwa ibadah tidak hanya melulu berkecimpung dalam aspek ibadah
mahdhah. Namun sebenarnya ada hakikat yang lebih luas yaitu ibadah
ghairu mahdah yang notabene manusia kerap kali melupakan hal ini.
Sebenarnya Antara ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah saling
berkesinambungan satu sama lain. Karena esensi dari ibadah itu sama yaitu meningkatkan ketakwaan. Namun disini definisi
takwa sering kali disalahpahami bahwa takwa itu hanya berbau ibadah mahdhah
saja. Padahal takwa yang sebenarnya mencakup juga aspek sosial.[4]
Sebut saja ibadah zakat yang selain menunaikan kewajiban agama, zakat juga
mencakup aspek sosial yaitu untuk mengurangi kemiskinan.
Masih adanya pemisahan antara nilai agamis dan nilai duniawi merupakan salah
satu penyebab kesalahpahaman dalam beribadah. Orang yang hanya disibukan dengan
ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan zakat kadang kali menganggap
taat pada hukum, tidak buang sampah sembarangan, dan masih banyak lainnya
sebagai nilai ibadah. Inilah yang dimaksud dengan “pemisahan” antara nilai
agamis dan nilai sosial. Yang dikhawatirkan dari pemahaman ini, akan berkembang suatu anggapan yang
masa bodoh terhadap nilai sosial.
Maka dari itu, pengkajian ulang definisi ibadah sangatlah diperlukan.
Mengingat pentingnya hal itu agar umat manusia tidak terjebak dengan dogma-dogma agama. Sehingga nantinya muncullah karakter manusia yang
tidak hanya soleh secara ritual, melainkan juga shaleh secara sosial.
Uraian diatas bukanlah berarti hendak mengarahkan kepada pemahaman
sosial semata atas agama, sebab meskipun agama terutama islam lebih
menitikberatkan pada aspek sosial, bukan berarti pula menafikan aspek ritual. Idealnya
tentu yang seimbang (wasath). Tidak terlalu terjerumus ke aktifitas
sosial, juga tidak terlalu kaku dengan kegiatan “ritualis”.[5]
[1] Ahmad Thib Raya, Menyelami Seluk-Beluk
Ibadah dalam Islam ( Jakarta: Prenada Media ,2003 ), hlm 137.
0 Comments