bangunlah hai organisasiku


BANGUNLAH WAHAI ORGANISASIKU
Oleh : Rendi Maulana
A.              Pendahuluan
Apa yang telah diberikan NU pada masyarakat, khususnya kepada masyarakat kecil[1]
Itulah salah satu pertanyaan yang penulis dapatkan dalam buku yang berjudul Menatap Masa Depan NU yang dibuat oleh Jamal Ma’mur Asmani. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia bahkan ada yang mengatakan di dunia seakan-akan kalah bersaing dengan organisasi lainnya dalam hal mensejahterakan warganya. Muhammadiyah salah satu contohnya. Mereka melakukan beberapa gebrakan sepeti membuat rumah sakit, mendirikan lembaga sosial, membangun sarana pendidikan yang mana fasilitas-fasilitas seperti ini sangatlah dibutuhkan oleh warga Indonesia. Dan itu masih belum terlaksana di dalam organisasi NU.
Sebenarnya NU sendiri sudah melakukan hal demikian sebelum NU terbentuk, sebut saja Nahdlatuttujjar yang artinya kebangkitan pedagang, Nahdlatul Wathan kebangkitan Negara atau nasionalisme dan Tashwirul Afkar yang berupa lembaga pendidikan. Namun prestasi sejarah zaman dulu tidak bisa diteruskan secara progresif oleh generasi setelahnya sehingga membuat NU berjalan secara passif.
Sejarah perjalanan NU yang begitu panjang berhasil memberikan warna bagi bangsa Indonesia. NU berhasil membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, selain itu NU juga terlibat andil yang besar dalam merumuskan dasar Negara yang waktu itu diwakilkan oleh KH. Wahid Hasyim. Namun itu hanyalah sejarah masa lalu, pada saat ini nyatanya NU belum bisa membantu negara dalam hal mensejahterkan warganya terutama warga NU itu sendiri. Prestasi-prestasi NU masih bersifat kesejarahan yaitu menjaga integrasi NKRI dari serbuan orang-orang yang ingin merusak NKRI[2].
Melihat fakta diatas, sudah pasti ada sesuatu yang engga beres terjadi di internal NU sendiri entah itu apa dan kenapa bisa terjadi demikian. Beranjak dari permasalahan tersebut, penulis ingin menyampaikan argumen dari buku yang berjudul Menatap Masa Depan NU.
B.              Pembahasan
Melihat Fakta
            Saat ini, NU seakan-akan tertidur dari pekerjaannya. Ketika ormas lain sudah bergerak selangkah dua langkah, NU masih berdiam diri tidak bergerak dan masih mencari bentuk serta identitas diri[3]. Masih belum terlaksananya program-program sosial jangka panjang. Lantas kemanakah para tokoh-tokoh NU saat ini? Apakah mereka tidak memikirkan hal seperti ini?. Yups banyak dari tokoh-tokoh NU yang masuk berkecimpung ke dalam dunia politik. Mereka menjual nama ke-NUan nnya demi mendapatkan dukungan dari warga-warganya. Tokoh-tokoh tersebut masuk kedalam jajaran tim pemenangan partai politik. Tidak senaknya mereka para elite politik mengangkat atau memasukan tokoh NU ke dalam jajaran tim pemenangan. Bukanlah karena faktor usia melainkan reputasinya yang memiliki pengikut jamaah yang banyak. Sehingga ketika tokoh NU datang berkampanye dihadapan masyarakat, masyarakat akan mengikutinya dan memilih orang tersebut yang mana salah satu kekurangan warga NU adalah tidak bisa membedakan antara kepentingan organisasi dan kepentingan pribadi. Pada intinya warga NU berpikir apabila tokoh NU datang membawa nama satu partai mereka beranggapan bahwa NU pun ikut memilih partai tersebut.
            Selain itu, orang NU banyak yang kurang bersosialisasi dengan warga sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Gus Mus manusia itu harus soleh ritual juga soleh sosial. Artinya perlu ada kesetaraan antara hablumminallah dan hablumminannas. Pesantren-pesantren banyak yang menutup diri tidak ikut terlibat dalam proses sosial. Tidak jarang kita menemukan pesantren yang tidak disukai oleh masyarakat sekitarmya karena kurang bersosialisai tersebut.
            Sebenarnya tokoh-tokoh NU itu sangatlah cerdas-cerdas sebut saja para santri di pondok pesantren memiliki khazanah kelimuan yang luas. Namun mereka tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan khazanahnya, dalam artian ketika mereka selesai mengaji, para santri tidak ada yang ingin bertanya lebih dalam lagi seputar ilmu yang ia dapatkan dari gurunya. Alasan santri tersebut melakukan hal itu karena menaati etika sebagai santri sebagaiama tercantum dalam kitab ta’lim muta’alim. Ada pula seorang katakanalah dia seorang ustadz yang apabila ada santri yang bertanya yang tidak sesuai dengan pola pemikirannya ia menggangap santri tersebut terlalu ekstrem dan tidak menghormati dirinya.
            Namun dari semua itu, hanya satu yang jadi titik permasalahan internal NU yaitu kurangnya arah dan tujuan dari managemen organisasi. Hal ini selaras denga apa yang dikatakan Ali Mashan Moesa dalam buku NU,Agama, dan Demokrasi (2002:7) bahwa kekurangan NU adalah dari segi manajemen organisasi. Kurangnya kelemahan itu dirasakan mulai dari Pengurus Besar hingga ke tingkat pengurus ranting. Namun kendati masalah ini sudah mengemuka, tidak ada hasrat untuk menyelesaikan permasalahn ini. Manajemen organisasi NU serasa kurang professional. Pembagian Job descriptionnya tidak berjalan sebagaimana apa yang diharapkan, semua berjalan sendiri-sendiri, karena merasa besar dan benar sendiri.[4] Kaum muda tidak berani menyampaikan aspirasi, kritikan, masukan secara terbuka,bebas, dan bertanggung jawab. Hal itu dikarenakan adanya rasa sungkan dan dinilai kebablasan (tidak tawadhu) membuat mereka tidak berani menyampaikan aspirasinya. Sehingga banyak dari kalangan muda yang pindah haluan ke organisasi lain yag lebih terbuka,bebas dan bisa menerima masukan dan juga aspirasi mereka. Fakta membuktikan bahwa banyak orang NU yang sukses tanpa menggunaka nama NU nya. Yang mana mereka sebenarnya adalah orang NU atau mungkin pernah bergabung menjadi pengurus NU.

AGENDA KEDEPAN
Dengan melirik kejadian-kejadian tersebut, sudah saatnya NU bangkit dan mulai merangkul warga-warganya. NU lahir karena sebelumnya telah ada organisasi seperti tahswirul afkar. Nahdlatul wathan, nahdlatut tujjar. Oleh karena itu sudah seyogyanya NU berdiri tegak diatas tiga landasan utama itu yakni intelektualisme,nasionalisme dan entrepreneurship[5]. Dengan mampu menggabungkan pendidikan, kebangsaan, dan ekonomi kerakyatan penulis yakin NU akan maju dan dilirik oleh semua elemen masyarakat Indonesia. Pendidikan ialah hal yang paling utama apabila ingin maju dan berkembang. Karena pendidikanlah yang bisa mencerdaskan bangsa ini juga dapat membuat seseorang lebih berpikir kritis.
Sebetulnya NU sudah memiliki lembaga pendidikan yang menaungi masalah tersebut yakni sekolah Ma’arif NU yang tersebar di seluruh antero negeri. Namun program-programnya belum jelas dan sibuk sendiri-sendiri. Perlu adanya pembaruan dari para pengajarnya, program dan rencana kurikulum yang lebih terarah serta mendirikn perpustakaan yang didalamnya tidak hanya berisi buku-buku tentang ke-NU an saja.
Nasionalisme sepertinya sudah tidak perlu diragukan lagi karena NU sudah memilii slogan bahwa NKRI harga mati dan juga mahfuzat Hubbul Wathan minal Iman penulis rasa hal itu sudah cukup untuk membuktikan patriotisme NU kepada Negara.
Selanjutnya adalah ekonomi, ekonomi merupakan bidang yang perlu digarap oleh NU saat ini. Mengingat peran NU dalam pengembangan ekonomi  belum terasa oleh warga-warganya. Basis warga NU yang kebanyakan dihuni oleh kaum petani, pedagang, buruh keras dan yang lainnya masih belum merasakan uluran tangan dari NU.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh NU adalah dengan membuat sebuah lembaga dengan tujuannya adalah menghimpun seluruh petani yang ada di Inodenesia khususnya warga NU. Program-program yang dilakukan bisa berupa pelatihan-pelatihan bagaimana cara menanam padi yang baik, bagaimana cara memasarkan hasil panen agar cepat laris dan bisa bekerja sama dengan dinas setempat. Mengingat masih banyaknya sumber daya manusia yang kurang terlatih dalam urusan ekonomi, administrasi keuangan dll sepertinya program tersebut layak untuk dilakukan.
Menurut Gus Mus (2007), para pendiri NU sebenarnya dulu sangat aktif menggerakan roda NU. Bahkan, NU berhasil membuat terobosan baru yaitu mendirikan Syirkah Inan yang bentuknya seperti koperasi. Didalam koperasi tersebut menjual beragam barang-barang pokok yang mana warga NU akan mendapatkan diskon sebesar 5% apabila berbelanja di Syirkah Inan. Hal tu bisa didapat cukup dengan menunjukan kartu warga NU. Dalam memotivasi ekonomi pembangunan ini Hadratussyekh  KH. Hasyim Asyari pernah berkata :
Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik, pandai dan para ustadz yang mulia. Mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana setiap kota tedapat satu badan usaha yang otonom”.[6]

Kisah sukses KH. Sahal Mahfudz dalam mendirikan lembaga BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) harus dijadikan panutan dalam hal membuat lembaga sosial. Alangkah lebih baik lagi jikalu PBNU bisa study banding berkunjung ke BPPM guna mempelajarai hal-hal tentang lembaga sosial.
Jenjang kaderisasi juga harus diperhatikan. NU yang notabene berasal dari kelompok pesantren dan juga madrasah haruslah berani utuk merekrut warga yang lainnya terutama ke dalam jantung pertahanan umat islam seperti masjid,sekolah agama,majelis taklim dan remaja masjid[7]. Bayangkan saja apabila NU tidak masuk ke dalam zona tersebut, mungkin suatu saat nanti masjid-masjid dan tempat pengajian lainnya sudah sangat sedikit yang beraliran NU. Jika hal itu terjadi apa yang akan kita lakukan?.
Merekrut anggota agar masuk NU tidak hanya dilakukan di dalam masjid atau tempat keagamaan saja melainkan NU juga harus memasuki ranah lainnya. Contoh halnya pendidikan umum dalam artian anak-anak SMA/SMK dan para mahasiswa mengingat masih ada warga NU yang sekolah di lembaga lain. Asset berharga ini belum bisa dimanfaatkan secara baik oleh NU. Kalo boleh jujur, NU sendiri  masih berfokus kepada para santri yang mondok di Pesantren sehingga NU sedikit lupa terhadap warga-warganya yang berada diluar pesantren. Hal ini seakan-akan memberikan kesan yang berhak mengurusi NU hanyalah mereka yang pernah mondok di Pesantren atau madrasah[8]. Pemikiran-pemikiran seperti ini haruslah dihilangkan jikalau NU ingin lebih berkembang lagi.
Pondok pesantren seyogyanya bisa memberikan hasil yang bermanfaat bagi warga disekitarnya. Menurut Dr. Ali Haidar (2003) pondok pesantren didirikan sebaiknya dekat dengan dunia industri. Seperti halnya Pondok Pesantren milik Hadrotussyekh  KH. Hasyim Asyari, beliau tidak mendirkan Ponpes di daerah orang tuanya melainkan beliau mendirikan Pondok pesantren dekat dengan Pabrik Tebu Cukir. Pemikiran seperti ini juga harus patut ditiru oleh pesantren-pesantren lainnya.



C.              PENUTUP
Setelah memaparkan berita tersebut,  dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa NU
Itu ibarat seekor macan yang sedang tertidur pulas. Yang mana kebangkitannya sangatlah ditunggu-tunggu oleh jutaan warganya di seluruh pelosok negeri, bahkan luar negeri. Kesibukan pengurus NU dalam ranah politik haruslah dikurangi, perbanyaklah memikirkan rakyatnya terutama dari segi ekonomi. Tujuan kebangsaan NU harus ditancapkan untuk menggerakan potensi besarnya dalam memajukan umat ini[9]. Umat sangat menantikan aksi-aksi nyata NU. Tidak hanya pandai dalam beretorika karena masyarakat hanya akan melihat bukti daripada omong kosong belaka. Masyarakat ingin menyaksikan aksi NU dalam hal pengentasan kemiskinan, pemantapan akidah dan syariah juga membantu dalam mencerdaskan generasi bangsa ini, dan juga totalitasnya NU dalam memperjuangkan nasib TKI, kaum yang lemah menjadi bukti ketulusan NU dalam berjuang meneruskan cita-cita luhur para pendiri NU yaitu menjadikan agama sebagai rahmatan lil’alamin. Demi terciptanya baldatun toyyibatun warabbun ghofur.
Wallahu ‘alam bishowab.  














DAFTAR PUSTAKA
Asmani , Jamal Ma’mur, menatap masa depan NU, Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo,   2016.






























BIODATA SINGKAT TENTANG PENULIS
Rendi Maulana lahir di Purwakarta pada tanggal 10 Juni 2000. Ia lahir di keluarga sederhana nan bahagia. Ibunya bernama Sri Susanti Ane dan bapaknya bernama Enjah Wahyudin. Saya memiliki dua saudara kandung yang mana saudara kandungnya tersebut berjenis kelamin berbeda.

Karir organisasi NU nya sendiri diawali ketika beliau masuk IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Kecamatan Purwakarta tahun 2017. Dan sekarang karir ke IPNU an nya itu dilanjutkan dengan bergabung kedalam IPNU Kecamatan Sewon demi melanjutkan belajar,berjuang serta bertakwa.


[1]  Jamal Ma’mur A, menatap masa depan NU hal 187 (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2016)
[2]  Jamal Ma’mur A, menatap masa depan NU hal 189 (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2016)
[3] Menatap masa depan NU Hal. 189
[4]  Menatap masa depan NU, Hal.195
[5]  Menatap masa depan NU, Hal.197

[6]  Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, LKiS Yogyakarta, 2004, hlm, 17-24
[7]  Menatap Masa Depan NU, Hal. 199
[8]  Menatap Masa Depan NU, Hal. 219
[9] Menatap Masa Depan NU, Hal. 265

0 Comments